Blak-blakan Bambang Pacul Soal Surat Pemakzulan Wapres Gibran: Saat Politik Digiring ke Lubang Kekacauan
Pemakzulan Wapres Gibran
detakpolitik.com, JAKARTA - Wakil Ketua MPR RI, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, akhirnya buka suara mengenai surat yang diajukan Forum Purnawirawan TNI (FPPTNI) yang menyerukan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Surat yang secara administratif telah diterima oleh Sekretariat Jenderal DPR/MPR, menurut Pacul, tetap akan ditindaklanjuti sesuai tata tertib yang berlaku di parlemen. Namun, ia juga menegaskan bahwa belum ada rapat pimpinan MPR yang dilakukan untuk membahas surat tersebut.
Bambang Pacul menyatakan bahwa tidak semua surat yang masuk otomatis dianggap penting. Proses pengambilan keputusan untuk menindaklanjuti surat semacam itu bergantung pada penilaian dan sudut pandang masing-masing pimpinan lembaga. “Di sekretariat itu kalau dianggap penting, baru kita lakukan Rapim. Nah, ini rapimnya belum ada,” ujar Pacul kepada awak media di Kompleks Parlemen, Senayan, pada Rabu, 4 Juni 2025.
Pacul juga menjelaskan bahwa yang berhak mengagendakan rapat pimpinan MPR hanyalah Ketua MPR RI, Ahmad Muzani. Artinya, meskipun surat telah diterima, jalannya proses ini masih sangat bergantung pada penilaian internal dan urgensi yang dirasakan oleh para pimpinan MPR. Ia menambahkan bahwa surat dari lembaga-lembaga resmi pemerintahan tentu mendapatkan perhatian khusus, tetapi surat dari entitas non-struktural seperti FPPTNI tetap harus diuji relevansi dan urgensinya dalam konteks konstitusional dan tata negara.
Menariknya, dalam surat bernomor 003/FPPTNI/V/2025 yang bertitimangsa 26 Mei 2025 itu, Forum Purnawirawan TNI menyampaikan argumen hukum dan etik yang dianggap sebagai dasar pemakzulan Wapres Gibran. Mereka menuding bahwa pencalonan Gibran sebagai cawapres cacat secara etika dan hukum karena diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi yang diketuai oleh pamannya sendiri, Anwar Usman. Surat tersebut mengklaim bahwa keputusan MK itu melanggar prinsip imparsialitas dan independensi lembaga peradilan, dan karenanya disebut sebagai bentuk penyimpangan dari asas keadilan dan “fair trial” dalam hukum tata negara.
Namun, jika kita menelusuri logika hukum dan konstitusi secara lebih seksama, jelas bahwa desakan pemakzulan terhadap Gibran adalah tindakan yang sangat dipaksakan dan tidak memiliki landasan yuridis yang kuat. Pertama-tama, proses Gibran menjadi calon wakil presiden telah melalui mekanisme hukum yang sah, yakni melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023. Apapun persepsi masyarakat terhadap putusan itu, tetap saja produk tersebut adalah keputusan final dan mengikat sesuai dengan Pasal 24C UUD 1945 tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Kedua, jika memang ada tudingan bahwa putusan MK saat itu bermasalah karena adanya konflik kepentingan, maka forum yang tepat bukanlah MPR atau DPR, melainkan Mahkamah Kehormatan MK dan Majelis Kehormatan MK yang sudah pula bekerja dan memberikan sanksi kepada Anwar Usman. Proses etik terhadap hakim konstitusi adalah domain tersendiri yang tidak serta-merta menjatuhkan legitimasi terhadap hasil keputusannya, apalagi jika tidak dibatalkan secara resmi oleh MK itu sendiri. Justru, pembentukan lembaga seperti MK itu untuk menjamin bahwa hukum berjalan di atas prosedur, bukan berdasarkan persepsi atau tekanan opini politik.
Ketiga, tuduhan bahwa Gibran cacat etika dan hukum karena hubungan kekeluargaan dengan hakim MK adalah logika yang melanggar prinsip presumption of legality. Seorang calon tidak bisa dianggap tidak sah hanya karena kerabatnya menjadi bagian dari lembaga yang kebetulan membuat keputusan yang menguntungkannya, kecuali terdapat bukti bahwa dia secara langsung terlibat dalam upaya intervensi atau persekongkolan hukum. Dan faktanya, tidak ada satu pun bukti bahwa Gibran mempengaruhi keputusan MK. Semua tuduhan itu sebatas asumsi dan sentimen politik yang dibungkus dalam jargon moralitas hukum.
Ironisnya, pihak-pihak yang mendorong narasi pemakzulan ini justru cenderung ingin membajak jalur hukum dan konstitusi demi agenda politik tertentu. Mereka lupa bahwa pemakzulan seorang Wakil Presiden hanya dapat dilakukan berdasarkan pelanggaran berat seperti pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela seperti diatur dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945. Adakah dari semua tuduhan itu yang terbukti secara hukum telah dilakukan Gibran? Tidak ada. Maka, mendorong pemakzulan hanya berdasarkan asumsi pelanggaran etik yang telah diproses oleh lembaga etik dan tidak berujung pada pembatalan keputusan, adalah bentuk penyalahgunaan hak demokrasi itu sendiri.
Masyarakat harus paham bahwa mengusulkan pemakzulan bukanlah hal sepele. Ini adalah langkah konstitusional paling drastis dan harus melewati proses politik yang sangat berat di DPR dan MPR, termasuk hak menyatakan pendapat, pembentukan panitia khusus, pemeriksaan Mahkamah Konstitusi, dan akhirnya pengambilan keputusan di Sidang Paripurna MPR dengan dukungan 2/3 suara. Artinya, hanya pelanggaran yang betul-betul luar biasa dan terbukti sahih yang bisa menjadi dasar pemakzulan.
Mendorong pemakzulan terhadap Gibran hanya karena ketidaksukaan terhadap putusan MK, tanpa bukti keterlibatan langsung, sama saja seperti membajak konstitusi demi dendam politik. Lebih dari itu, gerakan ini jika diteruskan akan menciptakan preseden buruk bagi demokrasi Indonesia, di mana pemimpin yang sah bisa digulingkan hanya karena kelompok tertentu tidak puas dengan hasil pemilu atau proses hukum yang sah. Kita seharusnya menjaga demokrasi dengan memperkuat supremasi hukum, bukan memperalat hukum demi ambisi politik.
Masyarakat berhak mengkritik, tetapi tidak boleh menurunkan seorang pejabat tinggi negara hanya karena kecurigaan yang tidak berdasar. Pemilu sudah selesai, proses hukum telah dilalui, maka sekarang adalah waktunya untuk mengawal kinerja pemimpin, bukan menggiring negara ini ke dalam turbulensi politik yang tidak perlu. Pemakzulan terhadap Gibran tidak hanya melanggar semangat konstitusi, tapi juga membahayakan stabilitas pemerintahan dan kepercayaan rakyat terhadap sistem demokrasi yang telah kita bangun dengan susah payah sejak reformasi.
(debo/dp)
Apa Reaksi Anda?






